Jumat, 06 Juli 2012

Piramid: Menarik bagi orang asing, tapi tidak untuk orang Mesir



Di Mesir, pekan ini bukanlah hal yang biasa dimana semua orang berbondong-bondong ketempat wisata untuk berlibur. Libur nasional kali ini untuk memperingati datangnya musim semi yang biasa di sebut “Sammun Nasim”. Setelah melewati musim gugur disusul musim dingin, Mesir kelihatan lebih cantik saat ini, pohon-pohon mulai tumbuh daunya dan bunga-bungapun mulai bermekaran warna-warni sepanjang jalanan kota.
Tidak hanya orang Mesir yang menikmati liburan kali ini, kami sekeluarga juga tidak mau melewatkannya. Meluncur ke “Ainus Suhna” menggunakan mobil pribadi dengan jarak tempuh sekitar 120 Km dari kota Kairo, membuat kami tidak sabar untuk segera sampai dipantai “Ainus Suhna” yang bersambungan dengan terusan Suez tersebut.
Sesampai ditempat tujuan, kami mendapati pantai yang tertutup, berkomplek-komplek seperti layaknya  perumahan, ketika ingin masuk pantai harus juga menyewa hotel atau rumah minimal sehari. ketika sudah diputuskan untuk menyewa hotel sebagai sarat masuk pantai, kami harus kecewa untuk kedua kalinya karena semua hotel yang ada sudah penuh, “Ahsan Agazah” yang artinya sekarang lagi hari libur, harusnya hotel dipesan seminggu sebelumnya, kata petugas pantai di sana.
Kami segera kembali ke kairo dan menuju tempat wisata lainya, kali ini bukan pantai yang dituju melainkan masjid tua peninggalan Dinasti Fatimiyah yang masih kelihatan megah sampai saat ini yaitu masjid Hakim Bi Amrillah, Masjid ini dibangun tidak lama setelah Masjid Al-Azhar, bentuk dan desainya juga hampir sama, setelah keliling dan mengambil gambar, kami kembali kerumah.
Keesokan harinya kami menuju kota “Dahshur”, yang terletak dipinggiran kota Kairo sebelah Timur kota Sakara dan Geiza, piramid adalah tujuanya kali ini, meski bukan piramid terbesar seperti halnya di Geiza, piramid Dahshur cukup menarik karena memiliki bentuk yang unik tidak seperti lazimnya piramid-piramid lainya, di “Dahshur” ini piramidnya biasa disebut pyramida bengkok.


Memasuki kawasan piramid, kami disambut petugas yang memakai pakaian polisi, dengan ramah dia menanyakan identitas kami dan kemudian mengarahkan ke loket tempat pembayaran tiket masuk, “Ana Tholib” yang artinya saya pelajar, kami membuka percakapan dengan petugas loket tersebut, “Fein Bithoqoh?” mana kartu pelajarmu?, kami menunjukkan dua kartu pelajar yang kami punya, “Masyi” Oke, kata petugas, kami hanya membayar setengah harga 15 LE perorang yang harusnya 30 LE.
Turun dari mobil, kami langsung naik piramid dan ditengah-tengah ada pintu kecil untuk masuk, sambil merunduk kami menuruni jalan terjal yang jauh kebawah dan melewati lorong-lorong kecil baru sampai kesebuah ruangan besar yang pengap, belum salesai sampai situ dipojok ruangan terdapat tangga naik yang tinggi menuju sebuah ruangan, disitulah tempat mumi di kubur.

Pengunjung pada waktu itu tidaklah banyak hanya sekitar 25 dan semua orang asing padahal hari itu adalah “Sammun Nasim” hari peringatan datangnya musim semi, yang hampir semua masyarakat Mesir pergi berlibur tapi tidak satupun terlihat di daerah sekitar piramid tersebut. padahal satu hari sebelumnya pantai “Ainus Suhna” penuh dan taman-taman yang kami lihat sepanjang jalan juga penuh seperti lautan orang.


Sepertinya orang Mesir lebih suka menghabiskan liburannya dipantai dan taman-taman karena lebih  cocok untuk menjadi tempat santai bersama keluarga, tidak seperti piramid yang tandus, panas dan berdebu, itulah yang ada difikiran kami mengapa orang Mesir lebih memilih pantai dan taman dari pada piramid, lain lagi dengan wisatawan asing yang jauh-jauh ke Mesir sengaja ingin melihat salah satu keajaiban dunia tersebut.

Sumber : Kompasiana


Di Mesir semua orang Asia disebut China



Siang ini memang tidak seperti biasanya, cuaca Mesir kali ini mencapai 30 derajat celcius, suatu hal aneh yang terjadi di musim dingin tahun ini. Untuk mengisi liburan akhir pekan, kami sekeluarga dari Maadi Cairo memutuskan untuk jalan-jalan ke kota Qonatir Al-Khoiriyah yang jaraknya sekitar 25 kilo meter dari tempat tinggal kami, hanya berbekal peta dari laptop kami berangkat dengan mobil sedan putih yang sedikit kusam tersapu oleh debu-debu gurun, meskipun sempat tersesat kami bersyukur karena sampai juga ketempat tujuan dengan selamat.
Sesampainya di Qonatir Al-Khoriyah, kami melihat banyak orang disana, mereka bukan penduduk daerah setempat melainkan orang dari kampung lain, bahkan banyak juga dari luar kota. Di Qonatir Al-Khoiriyah terdapat bendungan yang indah dimana terdapat  dua cabang sungai Nil yang disebut cabang Rosetta dan cabang damietta, sebagai sarana untuk mengendalikan aliran air kedalam Delta Nil, sehingga irigasi di daerah Delta dapat dikendalikan sepanjang tahun, bukan musiman. Disana juga terdapat taman-taman indah komersil dengan tiket masuk yang sangat murah, 2 LE sampai 3 LE. Para penduduk setempat juga banyak menyewakan kuda, sepeda dan motor dengan harga terjangkau. Bagi yang mempunyai hoby mancing disana bisa jadi tempat yang menyenangkan.
Setelah mendapatkan tempat parkir sebagian dari kami menyewa kuda untuk menjelajahi indahnya bendungan yang tampak gagah itu dan sebagianya memilih untuk jalan kaki sambil menjepretkan kameranya disana-sini.
Kami melihat keramahan warga ataupun pengunjung lainya disana, tidak jarang mereka melemparkan senyum pada kami sebagai tanda selamat datang, ada juga yang berani langsung menyapa dengan mengucapkan “welcome to Egypt”. kami sangat senang disana mendapati orang-orang yang ramah ditempat yang indah.
Sepanjang bendungan kami berkali-kali harus tersenyum untuk membalas senyuman dari orang yang kami jumpai, tidak jarang kami mendengar kata “ni hao” bahasa China yang berarti apa kabar?. Tiba-tiba datang tiga anak umurnya sekitar belasan tahun, mereka minta difoto, dengan senang hati pula kami memotret mereka bertiga dan memperlihatkan hasilnya dikamera, meraka tampak gembira sambil mengangkat ibu jarinya kearah kami sebagai tanda foto itu bagus. kemudian mereka bertanya “Shiny?” yang berati apakah kamu orang China?, kami menjawab menggunakan bahasa arab juga “La, ana Andunisy”, Bukan, kami orang Indonesia. mendengar kami menjawab dengan bahasa Arab, mereka menjadi tertarik dan bertanya kembali “kalim arobi?” bisa bahasa Arab?, kamipun menjawab “Aiwa” yang berarti iya. Obrolan kami berlanjut panjang, mulai dari berkenalan sampai mereka bertanya, Indonesia itu mana? apakah sampingnya negara China?, seolah-olah orang yang mempunyai fisik asia seperti kami ini, semuanya mereka anggap orang China dan ini tidak terjadi di daerah Qonatir Al-Khoriyah saja, ditempat lain kami juga kami medapati hal yang serupa, sering disapa dengan kalimat “ni hao”.
Kami berfikir, apakah karena perdagangan China lebih menguasai pasar Mesir dari pada negara lainya, sehingga ini yang menyebabkan orang Mesir lebih tahu China dari pada yang lainya. Padahal Orang Indonesia tidak kalah banyak dari orang China yang tinggal di Mesir. Filipina, Thailan dan Singapura juga tidak sedikit, tetap saja kebanyakan orang Mesir menganggap semua orang asia adalah orang China.
Jika kita ke pasar ataupun ke toko-toko, barang-barang dari China akan mudah kita temukan, beraneka bentuk dan warna, dari tusuk gigi sampai panci. Jika anda sempat jalan-jalan ke Mesir, Amati dulu belanjaan anda apakah buatan Mesir? karena banyak juga souvenir-souvenir khas Mesir yang buatan China.

Sumber : Kompasiana
 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India